one way ride ticket to nowhere

Chicken Soup for My Soul

Spiderman

with 3 comments

24.00 tepat, saya baru saja memarkir kendaraan saya di car port rumah saya di Arcamanik. Gerimis masih turun membasahi kota Bandung di pagi buta ini. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, kali ini saya sama sekali tidak merasa lelah, senyum menghiasi bibir saya seperti layaknya anak kecil baru saja dibelikan sepeda baru oleh orang tuanya.

Entah saya sedang bersyukur atau sekedar bahagia, saya sendiri tidak bisa mendifinisikannya dengan pasti. Yang jelas saya ingat, di perjalanan pulang tadi, hal yang membuat saya tersenyum (mungkin untuk pertama kalinya hari ini) adalah pengalaman saya di pertigaan lampu merah di depan Plaza T**kom jalan Supratman di tengah gerimis yang mulai deras membasahi kota Bandung.

Pukul 23.30, kira-kira, saya baru saja mengantarkan seorang teman pulang ke rumahnya di kompleks KPPR I*B daerah Dago. Saat itu gerimis sudah mulai turun. Melalui kawasan Dipatiukur wiper mobil saya mulai nyalakan, karena gerimis memang makin rapat membasahi kaca mobil. Dari belakang maupun dari depan, pengendara-pengendara motor saya rasakan mulai mengakselerasi kecepatan motor mereka di tengah hujan yang semakin rapat.

Di depan lapang Gasibu (baca:gazeebo kota Bandung) saya menikung ke arah jalan Supratman menuju pertigaan yang saya maksud di depan Plaza T**kom. 200 meter sebelum saya sampai persis di tempat itu Traffic Light pun menyala merah, yang menurut value yang saya anut, itu adalah tanda supaya kita pemilik kendaraan bermotor harus menghentikan kendaraan. (entah apabila value ini sudah usang). Maka saat itu pula saya berhenti di belakang garis zebra cross.

Seperti biasa di perempatan (lebih tepatnya pertigaan) saya senantiasa bersuudzan, bahwa “akan saya saksikan kembali pelanggaran-pelanggaran lalu lintas terjadi di depan mata tanpa saya bisa melakukan apa-apa untuk memperbaikinya”.

Perkiraan saya tidak terlalu meleset, saya hitung setidaknya sebelum momen itu, 5 buah sepeda motor dengan manisnya melintas menyeberangi pertigaan tanpa menyadari tanda (lampu merah menyala) yang telah kita sepakati sejak lama di dunia lalu lintas Internasional.

2 buah angkot pun memilih untuk berkelakuan sama.

“Maklumlah, orang kecil cari duit buat makan, jangan dipersulit dengan aturan-aturan”, begitu mungkin alasan mereka supir-supir angkot.

Namun saya baru sadari, ada seorang pengendara motor di samping kiri mobil saya. Dia memilih untuk berhenti. Dari perawakannya dan caranya berdandan, saya lihat, dia anak muda. Usianya mungkin beberapa tahun di bawah saya. Selebihnya saya tidak tahu karena wajahnya tertutup full-face helm.

Lampu merah masih menyala. Sama seperti tadi. Namun suudzan saya telah berubah. Energi negatif yang tadi saya rasakan kini berubah menjadi sebuah harapan. Entah kenapa saya diam-diam berdoa kepada Allah supaya orang ini diberi kekuatan tetap tegar menunggu hingga lampu menyala hijau. Di tengah hujan yang mengguyur makin rapat, kalaupun tidak bisa dikatakan deras.

Satu dua motor seperti biasa dan semakin lazim yang kita saksikan sehari-hari tetap melintasi pertigaan dengan manisnya. Ketika mereka melintas semakin kuat saya berharap dan berdoa. Hmm, dia tidak bergeming beberapa sentimeter pun. Malah saya saksikan ada pengendara kedua akhirnya ikut berhenti di belakang sepeda motornya. Sebuah angkot membunyikan klaksonnya, karena mereka dianggap menghalangi jalannya. 2 pengendara motor yang saya yakin tidak saling mengenal ini tetap tidak bergeming. Sang supir angkot pun memilih mengalah mengambil jalur untuk berbelok ke kiri untuk kemudian lurus menerobos pertigaan, seraya berteriak memaki kepada kedua motor tadi, “maju atuh sia teh, g**l*g!!! Hujan yeuh!!”

Saya sedikit tersenyum. Apa pedulinya supir angkot itu dengan hujan, pikir saya. Seharusnya justru 2 pengendara motor ini yang berhak menggunakan alasan itu untuk melabrak aturan. But we always have a choice. Life is about making a choice and live with it.

Saya teringat kata-kata Spiderman ketika menasihati Sandman di akhir cerita fim Spiderman 3. Saat itu Sandman berdalih bahwa menjadi seorang penjahat adalah takdirnya, dia tidak punya pilihan, karena anaknya yang sekarat butuh biaya untuk pengobatan dan bertahan hidup (walaupun akhirnya dia menyesalinya). Tapi sekali lagi “we always have a choice“, ujar Spiderman.

Singkat cerita, karena memang biasanya waktu menunggu di perempatan, tidak selama film Spiderman itu sendiri, akhirnya lampu hijaupun menyala. Ajaib !! Bahkan lampu kuning, untuk dua pengendara motor ini tidak berarti “putar gas dalam-dalam”. Mereka benar-benar menunggu hingga lampu memang menyala hijau, baru motor mereka bergeming melintasi pertigaan. Di ikuti oleh saya di belakangnya.

Entah kenapa, hati saya saat itu terasa hangat, berbahagia. Saya tidak tahu pasti kenapa. Yang jelas menurut versi saya saat itu, “Alhamdulillah, begitu banyak cara untuk mesyukuri sesuatu, di tengah ketabuan yang saat ini telah menjadi lazim.”

Semenjak momen itu hingga si Brownie anjing tetangga saya mengibas-ngibaskan ekornya menyambut kedatangan saya di depan rumah, senyum tidak hilang dari hati saya.
2 pengendara motor tadi, bisa saja, ayah anda, saudara anda, teman-teman akrab anda, rekan sejawat di kantor, atasan anda atau siapapun yang anda kenal maupun tidak kenal. Atau malah diri kita sendiri.

Traffic-light mungkin saja diterjemahkan sebagai aturan agama, moral, etika, sumpah jabatan, UUD 45, KUHP, Keppres no.80, maupun seperangkat aturan pemerintah maupun aturan yang berlaku di perusahaan anda, yang keberadaannya buat sebagian besar orang sudah usang, tidak relevan dengan keinginan dan ambisi nafsu pribadi.

Motor-motor pelanggar lampu merah dan supir-supir angkot silahkan anda terjemahkan sendiri dengan siapapun yang anda kenal maupun tidak. Atau mungkin justru diri kita sendiri.

Seringkali kita hanya bisa seperti diri saya, diam-diam berdo’a dari balik kaca mobil yang disapu oleh wiper di tengah hujan yang semakin deras. Berharap. Karena energi kita hanya cukup hanya sampai taraf menyaksikan dan berharap seraya diam-diam berdo’a. Di perempatan, di rumah, di lingkungan anda bergaul, di kampung anda, di tempat kerja, hingga di negeri Indonesia kita tercinta ini. Tanpa harapan apalah jadinya kita ini…

Yang jelas, untuk value yang kita anut, hampir pasti insya Allah, kita harus memilih. Sementara Sigmund Freud hanya bisa menasehati kita “don’t go with the wrong crowd.”

Oleh karena itu, sebelum sang waktu benar-benar menghunuskan pisaunya, sikap positiflah yang seharusnya selalu kita kembangkan ketika berada di persimpangan apapun dalam perjalanan panjang ini. Seperti Peter Parker memilih hidup sebagai Spiderman dan menasehati Sandman, “we always have a choice..

Written by rizaldi

July 16, 2008 at 7:23 pm

Posted in Tokoh

Tagged with

3 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. It’s nice,
    “we always have a choice. Life is about making a choice and live with it”

    salam kenal bung,

    emang hidup adalah pilihan…

    nengok gw di :

    http://rahmadisrijanto.wordpress.com

    makasih info golf nya!!

    rahmadisrijanto

    August 4, 2008 at 5:00 am

  2. Suka main golf juga toh, mas..?
    Kalau saya, jujur aja, masih belajar. Cuma sedang mencoba mentranslate apa yang bisa saya pelajari dari filosofi-filosofi permainan golf ke dalam sebuah tulisan. 🙂

    Boy

    August 6, 2008 at 4:03 am

  3. Akang … tulisan akang kata2nya manis …
    Gak pernah nyangka seorang Akang Boy ku bisa menuliskan dan merangkai kata semanis ini … hehehe 🙂

    sandia primeia

    April 24, 2009 at 4:23 am


Leave a comment